Menurut laporan United Nation
for Development Programme (UNDP)
pada 2010, kualitas sumber daya manusia Indonesia ternyata relatif rendah di
kawasan Asia Tenggara. (Wiwik Gusnita; 2011 : 1) Rendahnya sumber daya manusia menjadi gambaran
tingkat kesejahteraan hidup masyarakat. Artinya, secara kualitatif; kondisi masyarakat seperti ini dikategorikan pada kelompok masyarakat miskin. Di sinilah
dibutuhkan peran keluarga untuk memperbaiki
kualitas hidupnya.
Kesadaran dan kemauan membagi peran dalam keluarga dianggap cukup
penting bagi stabilisasi rumah tangga. Namun hal ini tidak mudah dilakukan oleh setiap keluarga. Masyarakat telah
menempatkan kedudukan laki-laki
sebagai ordinat. Juliet Mitchell mengatakan kunci dari penindasan atas
perempuan berada pada peran ideologis dan sosio-ekonomi, yang meletakkan
perempuan sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. Pemikiran ini kemudian diambil
dan dikembangkan oleh Kelompok Kajian Perempuan di Women Take Issue; beranggapan bahwa subordinasi perempuan di topang
oleh hegemoni maskulin dalam keluarga sebagai unit ekonomi, dan perempuan
sendiri tidak memposisikan dirinya secara definitif. (Sue Thornham ; 2010
: 26, 33)
Studi yang dilakukan oleh Bank Dunia tentang peran perempuan terhadap
pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa besarnya efek negatif yang ditimbulkan
oleh ketimpangan gender di mana perempuan dipekerjakan secara tidak tetap, sehingga sulit untuk
menentukan kisaran kepastian peran
perempuan. Seakan-akan
peran perempuan hanya terbatas pada pemenuhan
kebutuhan hidup saja, meskipun peran perempuan terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi produktif
cukup besar. Hal ini terjadi karena aktivitas perempuan di
bidang ekonomi tidak dianggap penting sehingga tidak dicatat. Perempuan hanya di lihat sebagai seorang individu yang tugasnya hanya untuk
keluarga. Posisi nilai ekonomi perempuan tidak diperhitungkan. (ILO;Gender Mainstreaming Strategy – ILO; 2003 : 5)
Permasalahan hegemoni maskulin dan peran ideologis dan sosio-ekonomi di
atas mendorong munculnya gender. Munculnya gender menimbulkan konflik, karena tidak semua kelompok
masyarakat mau menerima perubahan tersebut. Kelompok yang merasa diuntungkan oleh sistem
yang lama yaitu pihak laki-laki, tentu saja cenderung tetap mempertahankan
sistem yang lama. Mereka takut kehilangan kekuasaan terhadap perempuan. Apalagi mereka akan menghadapi suatu peta baru yang
dapat melemahkan posisinya dalam keluarga. Sebaliknya kelompok yang merasa
dirugikan dengan sistem yang lama yakni pihak perempuan, akan berusaha terus untuk merubah sistem. Mereka
tidak mau menerima bentuk penindasan, kekerasan, dan sejenisnya yang
terus-menerus menekan mereka. Di sini terjadi pertentangan kepentingan. Namun
demikian konflik yang terjadi tersebut merupakan mekanisme perubahan sosial dan bentuk penyesuaian, karena konflik di sini berfungsi positif seperti pendapat Coser ketika mengkaji konflik. (Herien Puspitawati; Teori Konflik Sosial Dan
Aplikasinya Dalam Kehidupan Keluarga, 2009 : 15)
Jadi gender dapat dikatakan sebagai sarana
keadilan peran antara laki-laki dan perempuan atau
suami dan isteri, karena pembagian peran dalam keluarga sangat diperlukan dalam rangka membagi
tanggung jawab antara anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan bersama yang
saling menguntungkan atau symbiosis mutualism.
(Herien Puspitawati; 2010 : 7)
Selanjutnya gambaran masyarakat yang langsung bersentuhan dengan
industri memiliki ciri khas. Peningkatan pendapatan nilai ekonomi perusahan
tidak berjalan berbanding-lurus dengan kondisi kehidupan ekonomi masyarakat sekitarnya. Masyarakat dihadapkan pada kenyataan terbatasnya
pemberian kesempatan kerja dari pabrik industri terhadap para pencari kerja.
Perhitungan untung rugi menjadi aspek utama yang diperhitungkan oleh pihak
pabrik. Oleh sebab itu khusus pabrik industri yang bergerak di bidang industri tekstil lebih banyak melirik buruh
perempuan. Dasar pemikirannya sangat
sederhana, perempuan dianggap memiliki ketrampilan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki terkait ketelitian, kerapihan, dan
aspek estetika. Selain itu upah buruh perempuan dianggap lebih murah. Dengan demikian di daerah pabrik industri
tekstil, peluang perempuan untuk mendapatkan pekerjaan
lebih besar, sedangkan di pabrik
industri non tekstil, peluang laki-laki lebih besar karena jenis pekerjaan pada
industri non tekstil lebih berat
dibandingkan dengan industri tekstil.
Akan
tetapi hal ini tidak serta merta menunjukkan bahwa buruh industri tekstil adalah
buruh perempuan, dan buruh industri non
tekstil adalah buruh laki-laki saja. Selain tenaga buruh perempuan dianggap lebih
trampil, juga populasi
perempuan diakui lebih
besar dibandingkan dengan laki-laki sehingga peluang untuk perempuan bekerja
cukup besar. Hal ini sejalan dengan hasil ketenaga-kerjaan Indonesia yang
memperlihatkan terjadi pergeseran besar dinamika pasar kerja terutama
partisipasi perempuan dan lokasi pasar kerja. (ILO;
Isu-isu Perempuan Dan Gender di Organisasi Serikat Pekerja / Buruh di
Indonesia, 2006 : 23)
Walaupun di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia, sejak dasawarna 1950-an
mengalami perubahan pandangan tentang peran perempuan, (Jurnal Perempuan; April 2012 : 98) tetapi dalam kenyataan masalah gender di Indonesia masih mengalami
kendala budaya. Bahkan pada masa orde baru perhatian negara terhadap peran perempuan dalam pembangunan seperti yang dikemukakan Susan Blackburn, bahwa program negara terkait dengan peran
perempuan, hanya berlaku pada kalangan
tertentu seperti; PKK dan Dharma Wanita.
Kebijakan negara inipun hanya
terbatas pada sekedar pemberdayaan perempuan semata. Perempuan sebagai isteri dan ibu rumah tangga diajak untuk harus menyiapkan
pakaian kerja untuk suami, makanan untuk keluarga, membersihkan rumah dan
sejenisnya. (Susan Blackburn; 2009 : 31) Peran perempuan diletakkan pada pemikiran dasar dalam tataran Gender
And Development (GAD). Pendapat tersebut bisa disebabkan
oleh kebijakan negara pada masa lalu seperti
hasil penelitian Valerie Hull di pedesaan Jawa pada tahun 1970an, di mana rakyat kelas menengah mendorong
pemikiran domestik ibu rumah tangga, dan mengeritik perempuan bekerja sebagai
menelantarkan anaknya. (Susan Blackburn; 2009 : 270)
Pendikhotomian
berdasarkan jenis kelamin dalam bentuk pekerjaan, jenis pekerjaan, dan upah di
atas semakin memperkokoh pandangan laki-laki yang menempatkan dirinya sebagai individu yang kuat dan harus melindungi perempuan yang
dianggap lemah, dan kepala keluarga yang harus menafkahi keluarganya.
Sebaliknya, perempuan di
soroti sebagai ibu rumah tangga yang harus bekerja di bidang domestik, dan sebagai isteri harus memberikan ‘bayaran’ kepada suami karena menganggap tanggung jawab suami lebih besar dan
berat. Inilah bentuk dominasi laki-laki terhadap perempuan karena aspek budaya
dalam masyarakat. Prijino Tjiptoherijanto dalam tulisannya ‘Kegiatan-kegiatan
Produktif : Perempuan Ada Di mana?’, mempertegas peran budaya yang memposisikan
kedudukan perempuan ke dalam pandangan masyarakat. Artinya; ada semacam
pemikiran dan kebiasaan yang ‘taken for
granted’ baik atas dasar alasan kultur ataupun sosial-ekonomi yang meletakkan perempuan
pada ranah domestik. Kalangan perempuan dianggap berada pada ranah yang
tidak menghasilkan ‘nilai lebih’. Konsekuensinya adalah peran dan status
perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki.
Perbedaan karakter, pandangan, kebutuhan hidup, dan life style, dapat menyebabkan
ketimpangan dan konflik dalam masyarakat. Suami sebagai kepala keluarga yang
berperan penting bagi kelangsungan kehidupan isteri dan anak-anak mendapat
tantangan yang sangat besar,
terutama pada bentuk masyarakat modern. Banyaknya kebutuhan hidup dan
terbatasnya fasilitas untuk memperolah kesejahteraan hidup keluarga mendorong
isteri untuk bekerja. Fenomena ini banyak ditemukan pada bentuk masyarakat
perkotaan dan masyarakat industri. Permasalahannya; bersifat variatif,
seperti suami yang
sebelumnya bekerja tapi kemudian
di PHK, suami yang sulit
mendapatkan pekerjaan, dan juga suami yang sulit mendapatkan penghasilan. Sementara, pada
bentuk masyarakat industri; untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup, orang harus
bekerja. Tentu saja orang yang bekerja dapat memenuhi kebutuhan hidup, seperti yang
disampaikan oleh Supartiningsih tentang kerja produktif sebagai suatu proses
kerja yang menghasilkan sesuatu, sehingga segala sesuatu yang dihasilkan
diartikan dengan nilai tukar.(Supartiningsih
dalam Jurnal Filsafat; 2003 : 43)
2. Dasar-Dasar
Pemikiran
A. Tentang Gender
A. Tentang Gender
Gender adalah sebuah konsep yang terkait dengan peranan dan hubungan
antara perempuan dan laki-laki yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis,
namun ditentukan oleh lingkungan sosial, politik dan ekonomi. Gender merupakan suatu
kategori sosial yang menunjukkan adanya peningkatan status perempuan sehingga melahirkan
kesetaraan dengan laki–laki. Gender
tidak hanya terbatas pada persoalan kesetaraan peran saja tetapi juga terkait
dengan kesadaran dan komitmen. Oleh sebab itu gender tidak menitik beratkan pada
kepentingan perempuan semata tetapi keseimbangan antara perempuan dan
laki-laki. Artinya; pembangunan yang tertuju kepada perempuan dan laki-laki. (Aida Vitayala S. Hubeis; 2010 : 90, 99)
Menurut perspektif feminis bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki adalah setara,
sehingga dari segi ‘income’,
perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk mendapatkannya dan dari
segi keleluasaan, perempuan memiliki hak
yang sama juga dengan laki-laki untuk mengatur dan menentukan sesuatu. Oleh sebab itu bagi perspektif feminis liberal berusaha untuk
menyadarkan perempuan sebagai kelompok yang ditindas. Jika yang dikampanyekan sebagai pekerjaan yang
dilakukan perempuan di sektor domestik saja, maka hal tersebut tidak produktif. (Herien Puspitawati; Teori
Gender Dan Aplikasinya Dalam Kehidupan
Keluarga; 2009 : 17) Menurut perspektif ini menganggap bahwa ketimpangan sosial antara laki-laki dan perempuan
merupakan ciptaan secara sosial (socially
costructed), di mana masyarakat sendiri yang memberikan definisi tersebut. Oleh
sebab itu perubahan sosial untuk kesetaraan, harus mengajak masyarakat secara
rasional dan menggunakan negara. (George Ritzer; Douglas
J. Goodman;2011 : 421)
Gerakan–gerakan yang
berobjek pada gender mulai
memberikan perubahan kepada masyarakat ketika mengkaji perempuan. Pada tataran ini kelompok feminis beranggapan bahwa perempuan harus
diberikan kesempatan. Dengan memberikan kesempatan maka ada ruang yang lebih
besar bagi perempuan untuk mendapatkan
haknya. (Margaret L. Andersen; Howard F. Taylor; 2005 : 285 – 286)
Gender dalam perspektif
Islam, menurut Aida Vitayala S. Hubeis, Jika perempuan dituntut untuk
berpartisipasi dalam pembangunan, mengapa
laki-laki tidak dituntut untuk berpartisipasi dalam dalam urusan rumah tangga.
Dengan berbekal iman, ilmu pengetahuan, dan amal, perempuan muslim dapat
menjadi muslimah pemimpin yang mampu membimbing dan mengarahkan diri sendiri
dan masyarakat di lingkungan menyongsong era budaya global berdimensi dua,
dunia dan akhirat. Pendekatan yang digunakan adalah; Pertama, mengajak hati,
pikiran, dan perasaan agar aktif terlibat dalam kemajuan memakmurkan bumi. Pola pikir ini bersifat positif dan
mensyaratkan penguasaan dan pemahaman iptek sebagai basis gerakan. Pengalaman
dan penerapannya dikaitkan dengan
nilai-nilai Islam dengan memadukan kemampuan pikir dan zikir dalam kehidupan
apapun status dan perannya. Kedua; membentuk sistem pengawasan dan kendali diri
untuk mewaspadai dampak negatif kemajuan agar tidak terlena dalam kehidupan
yang tidak diridhoi dengan berpedoman pada Alqur’an dan Hadits Nabi. (Aida Vitayala S. Hubeis; 2010 : 223, 243)
Herien Puspitawati mengatakan untuk menganalisis
gender ada lima model yang biasanya digunakan yakni Model Harvard; Model Moser;
Model SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat) atau Model Kekuatan,
Kelemahan, Peluang, dan Ancaman; Model
GAP (Gender analysis Pathway)
atau Model Analisis Alur Gender; dan Model
ProBA (Problem Based Approach)
atau Model Pendekatan Berbasis Masalah. Teknik yang sering digunakan untuk menganalisis gender dalam penelitian
ilmu keluarga adalah teknik Model Harvard dan Model Moser. Model Harvard
memperlihatkan investasi yang diberikan oleh laki-laki dan perempuan secara
rasional, membantu merancang aktivitas dan produktivitas kerja, mencari
informasi sebagai dasar untuk mencapai tujuan efisiensi dengan tingkat keadilan
gender, dan pemetaan kerja antara
laki-laki dengan perempuan dalam masyarakat dan melihat penyebab perbedaan. Akan tetapi Model
Harvard lebih melihat masalah gender sebagai langkah awal seperti dalam program Women In Development (WID), sedangkan di dalam Model Moser berisi konsep Triple Roles. (Herien
Puspitawati; Analisis Gender Dalam Penelitian
Bidang Ilmu Keluarga; 2009
: 3,
5, 6)
Berkaitan dengan Triple Roles
dari Moser, Aida Vitayala S. Hubeis membagi tiga peran pokok gender yaitu :
1. Peranan reproduktif, yakni peranan yang berhubungan
dengan tanggung-jawab pengasuhan anak dan tugas-tugas domestik untuk menjamin pemeliharaan dan reproduksi
tenaga kerja yang menyangkut kelangsungan hidup keluarga.
2. Peran produktif, yakni
peranan yang dikerjakan perempuan dan laki–laki untuk memperoleh bayaran / upah
secara tunai dan sejenisnya.
3. Peran masyarakat, yakni
pengelolaan masyarakat dan politik yang membedakan antara kebutuhan yang
bersifat praktis dan strategis bagi perempuan dan laki-laki. ( Aida Vitayala S.
Hubeis; 2010 : 83 – 84)
Sedangkan
Model GAD memberikan
konstruksi sosial gender dan keadilan peran antara laki-laki dan
perempuan. Perempuan diposisikan sama
dengan laki-laki sebagai agen perubahan dari perubahan sosial. Perempuan bukan hanya sebatas diberdayakan
atau empowerment
sehingga hanya
sebagai objek perubahan, tetapi justru perempuan sebagai subjek perubahan, di
mana dapat merencanakan hingga mengevaluasi program kerja. (Irwan Abdullah, (Ed); 2006 : 273)
B.
Buruh
Membahas buruh di Indonesia tidak bisa terlepas
dengan organisasi buruh dunia. Deklarasi Philadelphia tentang maksud dan tujuan
ILO menegaskan semua umat manusia tanpa
memandang ras, kepercayaan atau jenis
kelamin, berhak memperoleh kesejahteraan materiil maupun pengembangan spiritual
dalam kondisi yang bebas dan terhormat, dan dalam kondisi perekonomian yang
aman dan kesetaraan kesempatan. (ILO; Konvensi-konvensi ILO Tentang Kesetaraan Gender Di Dunia Kerja,
2006 : 55) Dengan demikian buruh yang dimaksudkan adalah
seseorang yang bekerja sebagai insan yang bebas dan terhormat demi memperoleh
kesejahteraan hidupnya.
Selanjutnya buruh perempuan dibedakan ke dalam tiga
pandangan yakni; Pertama, melihat
perempuan kerja di pabrik berdampak
positif karena dianggap telah mendobrak rendahnya posisi perempuan di dalam rumah. Industrialisasi dianggap mengangkat derajad
perempuan dan dunia kerjanya, telah
mendobrak struktur patriakal di dalam rumah dan keluarga, serta memiliki daya
tawar-menawar yang lebih baik. Kedua,
melihat terserapnya tenaga perempuan
dalam dunia industri modern sebagai hal yang negatif dan bersifat eksploratif
karena upah yang diberikan sangat rendah, tidak mungkin menuntut perbaikan upah
dan kondisi kerja, hubungan dengan majikan maupun dengansesama pekerja
laki-laki yang seringkali bersifat patriakal, dan sering menjadi kekerasan
seksual. Ketiga, menolak dua
ekstrim pengkotakan di atas, dan mengatakan bahwa kedua dimensi tersebut
sama-sama bisa muncul dan berkembang. Perempuan bisa memperoleh pekerjaan yang
sangat eksploratif, tetapi pekerjaan itu juga bisa membawa perbaikan posisi
sosial dan ekonomi bagi dirinya karena tidak ada alternatif lain dalam struktur pekerjaan yang ada.(Ratna Saptari, Brigitte Holzner; 1997 :
365 – 366)
Selanjutnya ruang lingkup tentang
buruh perlu diberikan batasan karena bukan hanya sekedar buruh dibedakan dengan
pegawai negeri, tetapi di bidang perburuhan; buruh sangat variatif. Sebagai pekerja pabrik,
buruh bekerja pada kategori pekerjaan berat atau juga dikatakan sebagai pekerja
kasar. Di dalam tulisan Warto mengatakan hanya sedikit buruh perempuan yang
bekerja sebagai mandor atau kepala shift di pabrik, kalaupun
ada, jabatan itu tetap dipegang laki-laki. Buruh identik dengan
pekerja kasar sehingga mobilitas wanita pekerja pabrik untuk pindah tempat bekerja
ke pabrik lain cukup tinggi karena relatif kecil
kemungkinan untuk kesempatan dapat pindah ke posisi pekerjaan
yang lebih baik. Untuk itu, pabrik semakin memperketat syarat-syarat kerja, misalnya
tenaga kerja di pabrik tekstil dibutuhkan paling rendah tamatan SLTP dan sudah
mempunyai pengalaman kerja. (Irwan
Abdullah, (Ed); 2006
: 167)
Menurut Indrasari Tjandraningsih, buruh perempuan berada pada status
subordinasi berganda. Di satu pihak, buruh perempuan
bekerja bersama–sama dengan buruh laki-laki sebagai alat produksi untuk
menghasilkan produk, di lain pihak, buruh perempuan mengalami penindasan berganda
akibat statusnya. Mitos dan stereotipe masa lalu tentang perempuan bagaimanapun
membutuhkan waktu dan proses untuk merubahnya. Buruh perempuan dianggap merasa
gembira dengan kesempatan kerja yang diperolehnya. Citra buruh perempuan seperti ini dimanfaatkan oleh pihak–pihak yang
bersinggungan dengan penggunaan buruh perempuan. Apalagi bagi pengusaha melihat
buruh perempuan sebagai tenaga ideal yang terampil, rajin, teliti, patuh, dan murah. (Irwan
Abdullah, (Ed); 2006 : 254)
Phillips dan Taylor mengatakan bahwa penggunaan tenaga buruh tidak harus bersifat diskriminasi terhadap tenaga buruh
perempuan. Asumsi tenaga kerja perempuan
tidak trampil merupakan suatu
asumsi yang keliru. Dengan adanya perubahan organisasi kerja dalam pabrik,
seringkali pekerjaan yang sama bisa dikerjakan oleh pekerja dengan tipe yang
berbeda. Jika pekerjaan yang digeluti sudah cukup lama, maka hasilnya adalah tenaga kerja yang sangat trampil. Akan tetapi ketika
berpindah kebidang yang berbeda, maka hasilnya adalah tenaga kerja yang tidak
trampil. Jadi tenaga buruh dibedakan menjadi tenaga trampil, semi trampil, dantidak trampil. Tetapi semi trampil dan tidak trampil hanya
bersifat sementara. Oleh sebab itu
pengklasifikasian tersebut bukan karena persoalan jenis antara buruh laki–laki dan buruh perempuan.
Contohnya; pabrik ban di Tangerang, pada mulanya buruh laki–laki
mendominasi pekerjaan tersebut, tetapi kemudian berubah di mana tenaga buruh perempuan telah mendominasi
jenis pekerjaan tersebut. (Ratna Saptari, Brigitte Holzner; 1997 : 369 – 370)
Tekanan ekonomi telah mendorong perempuan untuk melakukan perombakan
tradisi dan image. Namun faktor dukungan keluarga tidak bisa disepelekan ketika membahas buruh perempuan.
Ketika mendapat dukungan keluarga, perempuan akan melakukan peran gandanya
yakni sebagai ibu rumah tangga yang bekerja di rumah seperti menyiapkan makanan
untuk keluarga, membersihkan rumah dan sejenisnya, jugasebagai tenaga buruh yang bekerja untuk
mendapatkan upah. Menurut Ken Suratiyah, perempuan akan menjalankan peran gandanya dan
bahkan akan memforsir diri demi ekonomi keluarga. (Irwan
Abdullah, (Ed); 2006 : 231)
Di dalam tulisan ‘Pesantren Buruh Pabrik’, mengatakan bahwa saat ini
sektor ekonomi telah dipoles oleh kapitalis dan industrial, sehingga
sekularisasi menyebar dan menyeruak di seluruh sendi kehidupan masyarakat
modern. Dalam perspektif pendidikan Islam, manusia wajib berikhtiar untuk
mencapai kualitas hidup di dunia secara maksimal, tetapi
jangan sampai membuat dirinya terlena, hanyut tanpa kendali, dan akhirnya
berujung pada jurang kesengsaraan yang bersifat kekal dan abadi. (Imam Bawani, dkk; 2011 :265)
C.
Kesejahteraan Keluarga
Buruh
Kesejahteraan keluarga berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder yang
bersifat variatif sehingga kesejahteraan hidup keluarga bersifat subjektif. Hal
ini disebab karena barometer kesejahteraan hidup keluarga sangat ditentukan
oleh standar hidup keluarga itu sendiri.
Selain itu Herien Puspitawati
beranggapan jika jumlah anggota
keluarga semakin banyak, suami lebih
muda, pendidikan suami lebih tinggi / lebih lama, maka pendapatan perkapita
keluarga semakin besar. Jika nilai ekonomi pekerjaan ibu rumah tangga untuk
pemeliharaan rumah tangga semakin tinggi, maka akan berpengaruh terhadap
peningkatan kesejahteraan keluarga subjektif. (Herien Puspitawati;
Analisis Gender Dalam Penelitian Bidang Ilmu Keluarga, 2009 : 20)
Kesejahteraan keluarga subjektif yang berdasarkan pada pendekatan quality of life adalah mengukur kepuasan atau
kesenangan seseorang secara subjektif
terhadap semua materi dan prilaku yang dilakukan untuk
mencapai tujuan hidup. Kepuasan atau
kesejahteraan dapat berbeda antara harapan dengan kenyataan
dan dapat berbeda
pada setiap orang. Di dalam tulisan Herien juga
menekankan peran ganda dari perempuan yang sangat dibutuhkan bagi keluarga untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga subjektif. Hal ini sebagai
satu-satunya strategi penyeimbang antara kepentingan pekerjaan dan keluarga
untuk mencapai multi-tujuan (multi-purpose)
keluarga dan individu perempuan dengan mempertimbangkan adanya kepentingan
pribadi dan keluarga melalui penerapan konsep opportunity cost dan pareto
optimum. Opportunity cost adalah adanya pengorbanan yang dilakukan karena
mengerjakan atau memilih alternatif lain yang memiliki resiko terendah.
Sedangkan pareto optimum adalah
meningkatkan kesejahteraan seseorang tanpa mengakibatkan orang lain menderita. (Herien
Puspitawati; Pengaruh Strategi Penyeimbangan
Antara Aktivitas Pekerjaan Dan Keluarga Terhadap Kesejahteraan Keluarga Subjektif Pada
Perempuan Bekerja Di Bogor; 2009 : 116,
119, 120)
3. Upaya-Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Keluarga
A. Komitmen Keluarga
A. Komitmen Keluarga
Sebagai anggapan dasar tentang keluarga adalah rumah tangga yang harus
dibangun berdasarkan kesepahaman melalui cara komunikasi. Komunikasi yang
berjalan lancar dalam keluarga dapat menghasilkan kesepakatan sebagai bentuk
komitmen antara suami dan isteri. Herien
Puspitawati menggunakan istilah proses manajemen sumber daya keluarga. Proses
ini harus dilakukan karena peran ganda perempuan akan menghasilkan ketegangan
dan konflik antara tuntutan pekerjaan dengan keluarga. (Herien Puspitawati; Pengaruh Strategi Penyeimbangan
Antara Aktivitas Pekerjaan Dan Keluarga Terhadap Kesejahteraan Keluarga
Subjektif Pada Perempuan Bekerja Di Bogor, 2009
:112) Keterbatasan
mengerjakan pekerjaan rumah tangga ini yang harus diatur agar keluarga tidak
terganggu.
Selanjutnya menurut Aida Vitayala S. Hubeis, penerapan Pengarusutamaan
Gender (PUG) merupakan komitmen dalam keluarga. PUG adalah strategi pembangunan
yang berkeadilan dan berkesetaraan yang semakin diakui sebagai kebutuhan.
Tujuan PUG adalah untuk mencapai Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG). KKG tidak bisa terlepas dari kepedulian timbal-balik antara perempuan
dan laki-laki tetapi bukan dalam konteks ketergantungan ataupun pendominasian. Di sini dibutuhkan keberanian perempuan untuk
mengisi kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan tanpa berbelah hati
(mendua) dan sebaliknya diperlukan pula kerelaan kaum lelaki untuk melakukan
justifikasi mitos-mitos yang merugikan refleksi peran gender secara optimal. (Aida Vitayala
S. Hubeis,2009
: 6, 141) PUG
dilakukan melalui penyusunan kebijakan
dan bentuk program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan
permasalahan antara perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan
pemantauan dan evaluasi dari seluruh
kebijakan dan program di berbagai
bidang kehidupan dan pembangunan.
Oleh sebab itu kebijakan Pengarusutamaan Gender (PUG) sebagai strategi
mensejajarkan peranantara laki-laki dan perempuan menjadi sangat penting di
dalam masyarakat. Lembaga yang dianggap strategis untuk disosialisasikan dan bahkan dapat
diinternalisasikan agar kebijakan dapat berjalan efektif adalah keluarga.
Keluarga merupakanunit terkecil danunit inti dalam masyarakat yang perlu
diberdayakan. Kesetaraan dan keseimbangan antara laki-laki dengan perempuan
harus diperhatikan, karena kesetaraan dan keseimbangan tersebut berpengaruh
langsung terhadap peluang dan partisipasi dari perempuan. (Herien Puspitawati; 2007 : 6)
Selain itu di dalam
tulisan ‘Perempuan Menggugat’, diberikan cara atau program untuk menunjang
keberhasilan gender yang dianggap belum berjalan maksimal. Program tersebut
adalah Model Reparasi yang menjadi ekspresi simbolik agar tercipta demokrasi.
Program ini dianggap dapat membantu mengatasi ketimpangan struktural menuju
kesetaraan gender yang dapat mengakhiri diskriminasi sistematis terhadap
perempuan. Di dalam model ini permasalahan diidentifikasi untuk mengangkat dan
memahami pengalaman perempuan selama konflik terjadi kemudian dibuat program
reparasi yang konkrit dan kepastian untuk melaksanakan reparasi sesuai dengan
kesepakatan. (Ruth Rubio – Marin
(Ed); 2008 : 8 – 11)
Komitmen sebagai bentuk dari kesadaran antara suami dan isteri sangat menentukan
terciptanya gender.Bentuk
komitmen di dalam gender merupakan suatu kontribusi bagi perbaikan kesetaraan suami dan isteri. Kesetaraan dan keseimbangan tidak akan
berjalan secara maksimal apabila tidak didukung oleh komitmen dalam keluarga. Bahkan bentuk komitmen tidak hanya cukup dengan kata sepakat saja. Menurut
ILO, komitmen yang kuat terhadap kesetaraan kesempatan dan perlakukan antara
laki-laki dan perempuan di dunia kerja tercermin dalam Mandat Pekerjaan Yang
Layak yaitu meningkatkan kesempatan kerja bagi
perempuan dan laki-laki untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan produktif
dengan menjunjung tinggi kebebasan, pemerataan, keamanan, harkat dan martabat
manusia. (ILO;
Isu-isu Perempuan Dan Gender di Organisasi Serikat Pekerja / Buruh di
Indonesia, 2006 :1)
Berdasarkan
pemikiran-pemikiran di atas dapat dikatakan komitmen merupakan bentuk
kesepahaman, kesepakatan yang ditentukan oleh suami dan isteri dalam rangka
membentuk keluarga yang kuat dan sejahtera.
Jika hubungan dalam keluarga didasarkan pada komitmen, maka suami dan isteri akan menjadi
satu tim yang kuat dalam rumah tangga dan akan berdampak pada kuatnya ikatan
keluarga.
B.
Pembagian kerja
Adapun pemikiran
tentang pembagian kerja berdasarkan gender didasarkan pada tataran
Gender And Development (GAD), di mana perempuan
dan laki-laki memiliki kesetaraan, keadilan, dan keseimbangan. Jadi tidak
sekedar hanya berfokus pada bagaimana memberdayakan perempuan. Kesenjangan gender
dalam keluarga dan masyarakat mendorong peran perempuan dan laki-laki harus
seimbang. Pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki bukan didasarkan pada
perbedaan jenis kelamin. Menurut Herien Puspitawati peran gender di sektor
domestik melibatkan peran reproduktif / domestik yang menyangkut aktivitas manajemen sumber
daya keluarga (materi, non materi dan waktu, pekerjaan dan keuangan), misalnya
laki-laki membantu peran domestik dalam pengasuhan / pendidikan anak dan household chores. (Herien Puspitawati; Analisis
Gender Dalam Penelitian Bidang Ilmu Keluarga, 2009
: 9)
Wiwik Gusniati
membedakan pembagian peran dalam
beberapa tipe :
1.
Diferensiasi peran, bahwa aktivitas yang
dilakukan ditentukan berdasarkan umur, gender, generasi, posisi status ekonomi,
dan posisi status politik.
2.
Alokasi solidaritas, bahwa peran yang
ditentukan berdasarkan cinta, kepuasan, kekuatan keluarga, dan intensitas
hubungan.
3.
Alokasi ekonomi, bahwa peran yang berkaitan
dengan produksi, distribusi, dan konsumsi dari barang dan jasa dalam keluarga.
4.
Alokasi politik, bahwa peran berkaitan dengan
distribusi kekuasaan dan siapa yang bertanggung jawab atas tindakan anggota
keluarga.
Alokasi
integrasi, ekspresi, dan peran berkaitan dengan teknik atau cara untuk
sosialisasi, internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai dan prilaku yang
memenuhi tuntutan norma yang berlaku untuk setiap anggota keluarga. (Herien
Puspitawati; Analisis Gender Dalam Penelitian Bidang Ilmu Keluarga; 2009 : 8 – 9)
Di dalam tulisan Ratna Saptasi dan Brigitte Holzner menegaskan
komposisi pembagian kerja di dalam rumah tangga tidak bisa di lihat sebagai
kesatuan yang terisolasi dan mandiri. Bagaimanapun komposisi suatu rumah tangga serta
pembagian kerja yang terdapat di
dalamnya berkaitan sangat erat dengan lingkungan sosial, ekonomi, dan
politik yang lebih besar. Jadi perbedaan pembagian kerja antar keluarga sesuai
dengan posisi ekonomi rumah tangga yang bersangkutan. (Saptari, Ratna; Holzner, Brigitte; 1997 : 31)
Warto mengatakan dengan pola kerja di pabrik dengan system
shift (pagi, siang, dan
malam) memaksa mereka untuk
mengatur pola kerja
di rumah. Meskipun demikian peran suami sangat dibutuhkan dalam kondisi
seperti ini.Akhirnya suami mengambil alih peran isteri seperti menyapu,
memasak, dan mengasuh anak. (Irwan
Abdullah, (Ed); 2006: 169) Dengan demikian pembagian kerja dalam keluarga
ditentukan oleh keluarga masing-masing karena kondisi, suasana, dan kebutuhan
setiap keluarga berbeda satu dengan yang lain. Apalagi tujuan membentuk keluarga merupakan
fondasi sehingga menndorong terbentuknya kesepakatan tentang pembagian kerja.
Selanjutnya di dalam
dunia kerja, tenaga buruh perempuan tersebar menurut sektor, kelompok
pendidikan, dan jenis jabatan. Tenaga
buruh perempuan tetap menjadi tenaga
kerja yang diperhitungkan sebagai mitra tenaga kerja laki-laki di sector
industri. (Ruth Rubio – Marin (Ed); 2008
: 444 – 445)
C.
Pengambilan Keputusan
Keluarga
Pengambilan keputusan
dalam keluarga merupakan suatu bentuk keputusan baik dalam bentuk pemikiran
maupun dalam bentuk tindakan demi perbaikan kehidupan keluarga. Dalam tulisan
Wiwik Gusnita menjelaskan pola pengambilan keputusan dalam keluarga menyangkut
kewenangan suami istri dalam mengambil keputusan, terbagi dua pola; Pertama,
pola tradisional yang memberikan kewenangan kepada suami untuk mengambil
keputusan, dan Kedua, pola modern yang memberikan kewenangan kepada suami dan
isteri secara bersama-sama dalam mengambil keputusan tanpa menghilangkan peran
masing-masing. (Wiwik Gusnita; 2011 : 19)
Selanjutnya menurut Scanzoni dan Scanzoni yang dikutib
oleh Azzachrawani bahwa pola pengambilan keputusan dalam keluarga menggambarkan bagaimana struktur pola
kekuasaan dalam keluarga tersebut. (Wiwik
Gusnita; 2011 : 18)
Dengan demikian jika gender sudah berfungsi dalam
keluarga maka pengambilan keputusan
tidak lagi didominasi oleh suami. Maria Kaban mengatakan
bahwa dalam keluarga kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam proses
pengambilan keputusan memiliki strategis dan berdampak ganda. Strategis karena
mewujudkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan; ganda karena mendidik
anak-anak yang tidak memberikan pembedaan jenis ketika mengambil keputusan. (Maria
Kaban; 2005
: 45)
Selanjutnya Syamsiah Achmad membagi dua bentuk
pengambilan keputusan. Pertama; keputusan individu perempuan dan
laki-laki sebagai keputusan yang ditujukan pada diri sendiri, yang
mempertimbangkan kepentingan dan aspirasi diri sendiri baik secara individu
maupun berkaitan dengan keluarga, masyarakat, organisasi dan lain-lain. Kedua;
keputusan kolektif sebagai keputusan yang diambil oleh seorang perempuan atau
laki-laki bersama dengan para anggota kelompoknya baik secara informal maupun
formal. (Maria
Kaban; 2005
: 46)
Rani Andriani Budi Kusumo dkk, menegaskan dalam menghadapi sumber daya
yang langkah, keluarga melakukan suatu strategi koping untuk memaksimalkan
kesejahteraan keluarga yaitu suatu proses manajemen yang efektif digunakan untuk pencapaian penggunaan
sumber daya yang optimal
untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan, menyesuaikan pendapatan dengan kebutuhan keluarga.
Keluarga dengan pendapatan yang kurang, dapat mengurangi tekanan ekonomi dengan
cara melakukan penghematan atau peningkatan pendapatan keluarga melalui pola
nafkah ganda. (Rani
Andriani Budi Kusumo, dkk; 2008
: 55)
Aida
Vitalaya S. Hubeis mengatakan kualitas hidup sangat ditentukan oleh peran gender. Peningkatan kualitas dan kuantitas perempuan
di bidang ekonomi dapat dilakukan melalui kegiatan :
1.
Peningkatan kemampuan dan profesionalisme, etos
dan produktivitas kerja, kewirausahaan, manajemen dan kepemimpinan.
2.
Menciptakan iklim yang kondusif agar dapat
berperan dalam pembangunan secara optimal.
3.
Meningkatkan akses modal / kredit, informasi
pasar, dan jaringan produksi serta pasar.
4.
Memperoleh dukungan berbagai pihak dalam dunia
usaha dengan menciptakan iklim yang kondusif untuk meningkatkan kemandirian,
antara lain melalui kemitraan usaha. (Aida Vitayala
S. Hubeis; 2010 : 114)
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Irwan, (Ed); Sangkan Paran Gender, Yogyakarta : PPK UGM Pustaka
Pelajar,
2006
Andersen, Margaret, L; Taylor, Howard, F; Sociology, USA :Thomson
Wadsworth,
2005
Bank Dunia; Rangkaian Pembangunan
Berperspektif, Laporan Penelitian Kebijakan Bank, 2000
Bawani, Imam, dkk; Pesantren
Buruh Pabrik : Pemberdayaan Buruh Pabrik Berbasis Pendidikan Pesantren,
Yogyakarta : LKIS, 2011
Budi Kusumo, Rani Andriani, dkk; Analisis Peran Gender Serta Hubungannya
Dengan Kesetaraan Keluarga Petani Padi Dan Holtikultura Di Daerah Pinggiran
Perkotaan, Media Gizi Dan Keluarga, Desember 2008, 32 (2)
Blackburn, Susan; Perempuan
Dan Negara Dalam Era Indonesia Modern, Australia : Cambridge University
Press, 2009
Gamble, Sarah; Pengantar
Memahami Feminism Dan
PostFeminisme, Jakarta : Jalasutra, 2010
Gusnita,
Wiwik; Pengaruh Kontribusi Ekonomi Perempuan dan Gender Terhadap PendapatanKeluarga, Bogor : Pascasarjana IPB, 2011
Harrison, Lawrence, E; Huntington, Samuel, P, (Ed); Kebangkitan
Peran Budaya : Bagaimana Nilai-nilai Membentuk Kemajuan Manusia,
Jakarta : LP3ES, 2006
Hubeis, Aida, Vitayala, S; Pemberdayaan
Perempuan dari Masa ke Masa, Bogor : IPB Press, 2010
ILO; Gender Maintreaming Strategy-ILO,Strartegi Pengarusutamaan Gender – ILO
Jakarta 2003 – 2005, Jakarta,
2003
ILO; Isu-isu Perempuan Dan Gender Di
Organisasi Serikat Pekerja / Buruh Di Indonesia, Laporan Penelitian,
Jakarta, 2006
ILO;
Konvensi-Konvensi ILO Tentang Kesetaraan Gender Di Dunia Kerja,
ILO Jakarta, 2006
Kaban, Maria; Kesetaraan
Perempuan Dalam Pengambilan Keputusan Dalam
Keluarga
Pada Masyarakat Hukum Adat Karo (Studi
di Desa Tiga Panah
Kecamatan Tiga
Panah Kabupaten Karo), Tesis, Medan : Universitas Sumatera Utara, 2005
Puspitasasi, Herien; Pengarusutamaan Gender ( PUG ) Bidang Pendidikan
Dalam
Menyongsong Era Globalisasi, Makalah Seminar disampaikan pada
Lokakarya Pengarusutamaan Gender
dalam Pengelolaan Sumberdaya
Lingkungan Menuju Kualitas
Kehidupan Berkelanjutan Kampus IPB Darmaga
pada tanggal 10 September 2007
………; Pengaruh
Strategi Penyeimbangan Antara Aktivitas Pekerjaan Dan
Keluarga
Terhadap Kesejahteraan Keluarga Subjektif Pada Perempuan Bekerja Di Bogor : Analisis Structural Equantion Modelling, Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, Agustus 2009,
Vol 2, No. 2
………; Analisis Gender Dalam Penelitian
Bidang Ilmu Keluarga,
Makalah Seminaryang disampaikan pada Pelatihan Metodologi
Studi Gender
UntukProgram Studi Wanita, Gender dan Pembangunan PSW
– PSP3 LPPM – IPBpada tanggal 23 April 2009
………; Teori
Gender Dan Aplikasinya Dalam Kehidupan Keluarga, Bahan Jar ke 3, Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas
Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, Agustus 2009
………; Teori
Konflik Sosial Dan Aplikasinya Dalam Kehidupan Keluarga, Bahan Jar ke 3, Departemen Ilmu Keluarga
dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia Institut
Pertanian Bogor, Agustus 2009
………; Isu Gender dalam Agroforestry, Kerjasama Fakultas Kehutanan IPB –
ICRAF, Bogor,
2010
Puspitawati, Herien; Fahmi,
Sri, Andriyani; Jurnal Ilmu Keluarga Dan Konsumen Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
FEMA IPB, Vol. 1 No. 2, Agustus 2008
Ritzer, George; Goodman,
Douglas, J;Teori Sosiologi Modern, Jakarta : Kencana, 2010
Rubio-Martin, Ruth; Perempuan
Menggugat : Masalah Gender Dan Reparasi Dalam Kejahatan Hak Asasi Manusia,
Jakarta : ELSAM, 2008
Saptari, Ratna; Holzner, Brigitte; Perempuan Kerja Dan Perubahan Sosial : Sebuah Pengantar Studi Perempuan, Jakarta : Grafiti, 1997
Saptari, Ratna; Holzner, Brigitte; Perempuan Kerja Dan Perubahan Sosial : Sebuah Pengantar Studi Perempuan, Jakarta : Grafiti, 1997
Silvey, Rachel; Review Spaces Of Profest :
Gendered, Imigration, Social Networks, And Labor Activism In West Java,
Indonesia, Pergamon, Political Geography 22 (2003)
Thornham,
Sue; Teori
Feminis Dan Cultural Studies : Tentang Relasi Yang Belum
Terselesaikan, Jakarta :
Penerbit Jalasutra, 2010
Jurnal
Filsafat
Jilid
33 No. 1; Peran
Ganda Perempuan, Jakarta, April 2003
Jurnal
Perempuan
73, Perkawinan
Dan Keluarga; Jakarta, April
2012