Minggu, 29 Desember 2013

PERSPEKTIF GENDER DALAM UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN KELUARGA BURUH

            1.     Latar Belakang
Menurut laporan United Nation for  Development Programme (UNDP) pada 2010, kualitas sumber daya manusia Indonesia ternyata relatif rendah di kawasan Asia Tenggara. (Wiwik Gusnita; 2011 : 1) Rendahnya sumber daya manusia menjadi gambaran tingkat  kesejahteraan hidup  masyarakat. Artinya, secara  kualitatif;  kondisi masyarakat seperti ini  dikategorikan pada  kelompok masyarakat miskin. Di sinilah dibutuhkan peran keluarga untuk memperbaiki  kualitas hidupnya.
Kesadaran dan kemauan membagi peran dalam keluarga dianggap cukup penting bagi stabilisasi rumah tangga. Namun hal ini tidak mudah dilakukan oleh setiap keluarga.  Masyarakat telah  menempatkan  kedudukan laki-laki sebagai ordinat. Juliet Mitchell mengatakan kunci dari penindasan atas perempuan berada pada peran ideologis dan sosio-ekonomi, yang meletakkan perempuan sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. Pemikiran ini kemudian diambil dan dikembangkan oleh Kelompok Kajian Perempuan di Women Take Issue; beranggapan bahwa subordinasi perempuan di topang oleh hegemoni maskulin dalam keluarga sebagai unit ekonomi, dan perempuan sendiri tidak memposisikan dirinya secara definitif. (Sue Thornham ; 2010 :  26, 33)
Studi yang dilakukan oleh Bank Dunia tentang peran perempuan terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa besarnya efek negatif yang ditimbulkan oleh ketimpangan gender di mana perempuan dipekerjakan secara tidak tetap, sehingga sulit untuk menentukan  kisaran kepastian peran perempuan. Seakan-akan peran  perempuan hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan hidup saja, meskipun peran  perempuan  terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi produktif cukup besar.  Hal ini terjadi karena aktivitas perempuan di bidang ekonomi tidak dianggap penting sehingga tidak dicatat.  Perempuan hanya di lihat sebagai seorang individu yang tugasnya hanya untuk keluarga. Posisi nilai ekonomi perempuan tidak diperhitungkan. (ILO;Gender Mainstreaming Strategy – ILO; 2003 : 5)
Permasalahan hegemoni maskulin dan peran ideologis dan sosio-ekonomi di atas mendorong munculnya gender. Munculnya gender menimbulkan konflik, karena tidak semua kelompok masyarakat mau menerima perubahan tersebut.  Kelompok yang merasa diuntungkan oleh sistem yang lama yaitu pihak laki-laki, tentu saja cenderung tetap mempertahankan sistem yang lama. Mereka takut kehilangan kekuasaan terhadap perempuan. Apalagi mereka akan menghadapi suatu peta baru yang dapat melemahkan posisinya dalam keluarga. Sebaliknya kelompok yang merasa dirugikan dengan sistem yang lama yakni pihak perempuan, akan berusaha terus untuk merubah sistem. Mereka tidak mau menerima bentuk penindasan, kekerasan, dan sejenisnya yang terus-menerus menekan mereka. Di sini terjadi pertentangan kepentingan. Namun demikian konflik yang terjadi tersebut merupakan mekanisme perubahan sosial dan bentuk penyesuaian, karena konflik di sini berfungsi positif seperti pendapat Coser ketika mengkaji konflik. (Herien Puspitawati; Teori Konflik Sosial Dan Aplikasinya Dalam Kehidupan Keluarga, 2009 : 15)
Jadi gender  dapat dikatakan sebagai  sarana keadilan peran antara laki-laki dan perempuan atau suami dan isteri, karena pembagian peran dalam keluarga sangat diperlukan dalam rangka membagi tanggung jawab antara anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan bersama yang saling menguntungkan atau symbiosis mutualism. (Herien  Puspitawati; 2010 : 7)
Selanjutnya gambaran masyarakat yang langsung bersentuhan dengan industri memiliki ciri khas. Peningkatan pendapatan nilai ekonomi perusahan tidak berjalan berbanding-lurus dengan kondisi kehidupan ekonomi masyarakat sekitarnya.  Masyarakat dihadapkan pada kenyataan terbatasnya pemberian kesempatan kerja dari pabrik industri terhadap para pencari kerja. Perhitungan untung rugi menjadi aspek utama yang diperhitungkan oleh pihak pabrik. Oleh sebab itu khusus pabrik industri yang bergerak di bidang industri tekstil lebih banyak melirik buruh perempuan. Dasar pemikirannya sangat sederhana,  perempuan dianggap memiliki ketrampilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki terkait ketelitian, kerapihan, dan aspek estetika. Selain itu upah buruh perempuan dianggap lebih murah.  Dengan demikian di daerah pabrik industri tekstil,  peluang perempuan untuk mendapatkan  pekerjaan  lebih besar, sedangkan  di pabrik industri non tekstil, peluang laki-laki lebih besar karena jenis pekerjaan pada industri non tekstil lebih berat  dibandingkan dengan industri tekstil.  Akan tetapi hal ini tidak serta merta menunjukkan bahwa buruh industri tekstil adalah buruh perempuan, dan buruh industri  non tekstil adalah buruh laki-laki saja. Selain tenaga buruh perempuan dianggap lebih trampil, juga populasi perempuan diakui lebih besar dibandingkan dengan laki-laki sehingga peluang untuk perempuan bekerja cukup besar. Hal ini sejalan dengan hasil ketenaga-kerjaan Indonesia yang memperlihatkan terjadi pergeseran besar dinamika pasar kerja terutama partisipasi perempuan dan lokasi pasar kerja. (ILO; Isu-isu Perempuan Dan Gender di Organisasi Serikat Pekerja / Buruh di Indonesia, 2006 : 23)
Walaupun di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia, sejak dasawarna 1950-an mengalami perubahan pandangan tentang peran perempuan, (Jurnal Perempuan; April 2012 : 98)  tetapi dalam kenyataan masalah gender di Indonesia masih mengalami kendala budaya. Bahkan pada masa orde baru perhatian negara  terhadap peran perempuan dalam pembangunan seperti yang dikemukakan Susan Blackburn, bahwa program negara terkait dengan peran perempuan, hanya berlaku pada kalangan  tertentu  seperti; PKK dan Dharma Wanita.  Kebijakan negara inipun hanya terbatas pada sekedar pemberdayaan perempuan semata. Perempuan sebagai isteri dan ibu rumah tangga diajak untuk harus menyiapkan pakaian kerja untuk suami, makanan untuk keluarga, membersihkan rumah dan sejenisnya. (Susan Blackburn;  2009 : 31) Peran perempuan diletakkan pada pemikiran dasar dalam tataran Gender And Development (GAD). Pendapat tersebut bisa disebabkan oleh kebijakan negara pada masa lalu seperti  hasil penelitian Valerie Hull di pedesaan Jawa  pada tahun 1970an,  di mana rakyat kelas menengah mendorong pemikiran domestik ibu rumah tangga, dan mengeritik perempuan bekerja sebagai menelantarkan anaknya. (Susan  Blackburn; 2009 : 270)
Pendikhotomian berdasarkan jenis kelamin dalam bentuk pekerjaan, jenis pekerjaan, dan upah di atas semakin memperkokoh pandangan laki-laki  yang menempatkan dirinya sebagai individu yang kuat dan harus melindungi perempuan yang dianggap lemah, dan kepala keluarga yang harus menafkahi keluarganya. Sebaliknya, perempuan di soroti sebagai ibu rumah tangga yang harus bekerja di bidang domestik, dan sebagai isteri harus   memberikan   ‘bayaran’  kepada suami karena menganggap tanggung jawab suami lebih besar dan berat. Inilah bentuk dominasi laki-laki terhadap perempuan karena aspek budaya dalam masyarakat. Prijino Tjiptoherijanto dalam tulisannya ‘Kegiatan-kegiatan Produktif : Perempuan Ada Di mana?’, mempertegas peran budaya yang memposisikan kedudukan perempuan  ke dalam  pandangan masyarakat. Artinya; ada semacam pemikiran dan kebiasaan yang ‘taken for granted’ baik atas dasar alasan kultur ataupun sosial-ekonomi yang meletakkan   perempuan   pada ranah domestik. Kalangan perempuan dianggap berada pada ranah yang tidak menghasilkan ‘nilai lebih’.  Konsekuensinya adalah peran dan status perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki.
Perbedaan karakter, pandangan, kebutuhan hidup, dan life style, dapat menyebabkan ketimpangan dan konflik dalam masyarakat. Suami sebagai kepala keluarga yang berperan penting bagi kelangsungan kehidupan isteri dan anak-anak mendapat  tantangan  yang sangat besar, terutama pada bentuk masyarakat modern. Banyaknya kebutuhan hidup dan terbatasnya fasilitas untuk memperolah kesejahteraan hidup keluarga mendorong isteri untuk bekerja. Fenomena ini banyak ditemukan pada bentuk masyarakat perkotaan dan masyarakat industri. Permasalahannya; bersifat variatif, seperti  suami  yang  sebelumnya bekerja tapi  kemudian di PHK, suami yang sulit mendapatkan pekerjaan, dan juga suami yang sulit mendapatkan penghasilan. Sementara, pada bentuk masyarakat industri; untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup, orang harus bekerja.  Tentu saja orang yang bekerja dapat memenuhi kebutuhan hidup, seperti yang disampaikan oleh Supartiningsih tentang kerja produktif sebagai suatu proses kerja yang menghasilkan sesuatu, sehingga segala sesuatu yang dihasilkan diartikan dengan nilai tukar.(Supartiningsih dalam Jurnal Filsafat; 2003 : 43) 
 
2.     Dasar-Dasar Pemikiran 
A.    Tentang Gender
Gender adalah sebuah konsep yang terkait dengan peranan dan hubungan antara perempuan dan laki-laki yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis, namun ditentukan oleh lingkungan sosial, politik dan ekonomi. Gender merupakan suatu kategori sosial yang menunjukkan adanya peningkatan status perempuan sehingga melahirkan kesetaraan dengan laki–laki.  Gender tidak hanya terbatas pada persoalan kesetaraan peran saja tetapi juga terkait dengan kesadaran dan komitmen. Oleh sebab itu gender tidak menitik beratkan pada kepentingan perempuan semata tetapi keseimbangan antara perempuan dan laki-laki. Artinya; pembangunan yang tertuju kepada perempuan dan laki-laki. (Aida Vitayala S. Hubeis; 2010 : 90, 99)
Menurut perspektif  feminis bahwa kedudukan  perempuan dan laki-laki adalah setara, sehingga dari segi ‘income’, perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk mendapatkannya dan dari segi keleluasaan, perempuan memiliki hak  yang sama juga dengan laki-laki untuk mengatur dan menentukan sesuatu.  Oleh sebab itu bagi perspektif feminis liberal berusaha untuk menyadarkan perempuan sebagai kelompok yang ditindas.  Jika yang dikampanyekan sebagai pekerjaan yang dilakukan perempuan di sektor domestik saja, maka hal tersebut  tidak produktif.  (Herien Puspitawati; Teori Gender  Dan Aplikasinya Dalam Kehidupan Keluarga;  2009 : 17) Menurut  perspektif ini menganggap bahwa ketimpangan sosial antara laki-laki dan perempuan merupakan ciptaan secara sosial (socially costructed), di mana masyarakat sendiri yang memberikan definisi tersebut. Oleh sebab itu perubahan sosial untuk kesetaraan, harus mengajak masyarakat secara rasional dan menggunakan negara. (George Ritzer; Douglas J. Goodman;2011 : 421)
 Gerakan–gerakan yang berobjek pada gender mulai memberikan perubahan kepada masyarakat ketika mengkaji perempuan.  Pada tataran ini kelompok feminis beranggapan bahwa perempuan harus diberikan kesempatan. Dengan memberikan kesempatan maka ada ruang yang lebih besar  bagi perempuan untuk mendapatkan haknya.  (Margaret L. Andersen; Howard F. Taylor; 2005 : 285 – 286)
Gender dalam perspektif Islam, menurut Aida Vitayala S. Hubeis, Jika perempuan dituntut untuk berpartisipasi dalam pembangunan,  mengapa laki-laki tidak dituntut untuk berpartisipasi dalam dalam urusan rumah tangga. Dengan berbekal iman, ilmu pengetahuan, dan amal, perempuan muslim dapat menjadi muslimah pemimpin yang mampu membimbing dan mengarahkan diri sendiri dan masyarakat di lingkungan menyongsong era budaya global berdimensi dua, dunia dan akhirat. Pendekatan yang digunakan adalah; Pertama, mengajak hati, pikiran, dan perasaan agar aktif terlibat dalam kemajuan memakmurkan bumi.  Pola pikir ini bersifat positif dan mensyaratkan penguasaan dan pemahaman iptek sebagai basis gerakan. Pengalaman dan penerapannya  dikaitkan dengan nilai-nilai Islam dengan memadukan kemampuan pikir dan zikir dalam kehidupan apapun status dan perannya. Kedua; membentuk sistem pengawasan dan kendali diri untuk mewaspadai dampak negatif kemajuan agar tidak terlena dalam kehidupan yang tidak diridhoi dengan berpedoman pada Alqur’an dan Hadits Nabi. (Aida Vitayala  S. Hubeis; 2010 : 223, 243)
Herien Puspitawati mengatakan untuk menganalisis gender ada lima model yang biasanya digunakan yakni Model Harvard; Model Moser; Model SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat) atau Model Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman; Model GAP (Gender analysis Pathway) atau Model Analisis Alur Gender; dan Model ProBA (Problem Based Approach) atau Model Pendekatan Berbasis Masalah. Teknik yang sering digunakan untuk menganalisis gender dalam penelitian ilmu keluarga adalah teknik Model Harvard dan Model Moser. Model Harvard memperlihatkan investasi yang diberikan oleh laki-laki dan perempuan secara rasional, membantu merancang aktivitas dan produktivitas kerja, mencari informasi sebagai dasar untuk mencapai tujuan efisiensi dengan tingkat keadilan gender,  dan pemetaan kerja antara laki-laki dengan perempuan dalam masyarakat dan melihat penyebab perbedaan. Akan tetapi Model Harvard lebih melihat masalah gender sebagai langkah  awal  seperti dalam program Women In Development (WID), sedangkan di dalam  Model Moser  berisi konsep Triple Roles. (Herien Puspitawati;  Analisis Gender Dalam Penelitian Bidang Ilmu Keluarga; 2009 : 3, 5, 6)
Berkaitan dengan Triple Roles dari Moser, Aida Vitayala S. Hubeis membagi tiga peran pokok gender yaitu :
1.     Peranan reproduktif, yakni peranan yang berhubungan dengan tanggung-jawab pengasuhan anak dan tugas-tugas domestik untuk menjamin pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja yang menyangkut kelangsungan hidup keluarga.
2.     Peran produktif, yakni peranan yang dikerjakan perempuan dan laki–laki untuk memperoleh bayaran / upah secara tunai dan sejenisnya.
3.     Peran masyarakat, yakni pengelolaan masyarakat dan politik yang membedakan antara kebutuhan yang bersifat praktis dan strategis bagi perempuan dan laki-laki. ( Aida Vitayala S. Hubeis; 2010 : 83 – 84)
            Sedangkan Model GAD memberikan konstruksi sosial gender dan keadilan peran antara laki-laki dan perempuan.  Perempuan diposisikan sama dengan laki-laki sebagai agen perubahan dari perubahan sosial.   Perempuan bukan hanya sebatas diberdayakan atau empowerment  sehingga hanya sebagai objek perubahan, tetapi justru perempuan sebagai subjek perubahan, di mana dapat merencanakan hingga mengevaluasi program kerja. (Irwan Abdullah, (Ed); 2006 : 273)

B.    Buruh
Membahas buruh di Indonesia tidak bisa terlepas dengan organisasi buruh dunia. Deklarasi Philadelphia tentang maksud dan tujuan ILO menegaskan  semua umat manusia tanpa memandang ras, kepercayaan  atau jenis kelamin, berhak memperoleh kesejahteraan materiil maupun pengembangan spiritual dalam kondisi yang bebas dan terhormat, dan dalam kondisi perekonomian yang aman dan kesetaraan kesempatan.  (ILO;  Konvensi-konvensi  ILO Tentang Kesetaraan Gender Di Dunia Kerja, 2006 : 55)   Dengan demikian buruh yang dimaksudkan adalah seseorang yang bekerja sebagai insan yang bebas dan terhormat demi memperoleh kesejahteraan hidupnya.
Selanjutnya buruh  perempuan   dibedakan ke dalam tiga pandangan yakni; Pertama,  melihat perempuan  kerja di pabrik berdampak positif karena dianggap telah mendobrak rendahnya posisi perempuan di dalam rumah.   Industrialisasi dianggap mengangkat derajad perempuan dan  dunia kerjanya, telah mendobrak struktur patriakal di dalam rumah dan keluarga, serta memiliki daya tawar-menawar yang lebih baik.  Kedua, melihat  terserapnya tenaga perempuan dalam dunia industri modern sebagai hal yang negatif dan bersifat eksploratif karena upah yang diberikan sangat rendah, tidak mungkin menuntut perbaikan upah dan kondisi kerja, hubungan dengan majikan maupun dengansesama pekerja laki-laki yang seringkali bersifat patriakal, dan sering menjadi kekerasan seksual. Ketiga, menolak  dua  ekstrim  pengkotakan  di atas, dan mengatakan bahwa kedua  dimensi tersebut sama-sama bisa muncul dan berkembang. Perempuan bisa memperoleh pekerjaan yang sangat eksploratif, tetapi pekerjaan itu juga bisa membawa perbaikan posisi sosial dan ekonomi bagi dirinya karena tidak ada alternatif  lain dalam struktur pekerjaan yang ada.(Ratna Saptari, Brigitte Holzner; 1997 : 365 – 366)
Selanjutnya   ruang lingkup tentang buruh perlu diberikan batasan karena bukan hanya sekedar buruh dibedakan dengan pegawai negeri, tetapi di bidang perburuhan; buruh sangat variatif.   Sebagai pekerja pabrik, buruh bekerja pada kategori pekerjaan berat atau juga dikatakan sebagai pekerja kasar. Di dalam tulisan Warto mengatakan hanya sedikit buruh perempuan yang bekerja sebagai mandor atau kepala  shift  di pabrik, kalaupun ada, jabatan itu tetap dipegang laki-laki.   Buruh identik dengan pekerja kasar sehingga mobilitas wanita pekerja pabrik untuk pindah tempat bekerja ke pabrik lain cukup tinggi karena  relatif kecil kemungkinan untuk  kesempatan dapat pindah ke posisi pekerjaan yang lebih baik.  Untuk itu, pabrik semakin  memperketat syarat-syarat kerja, misalnya tenaga kerja di pabrik tekstil dibutuhkan paling rendah tamatan SLTP dan sudah mempunyai pengalaman kerja. (Irwan Abdullah, (Ed); 2006 : 167)
Menurut Indrasari Tjandraningsih, buruh perempuan berada pada status subordinasi berganda.  Di satu pihak, buruh perempuan bekerja bersama–sama dengan buruh laki-laki sebagai alat produksi untuk menghasilkan produk, di lain pihak,  buruh perempuan mengalami penindasan berganda akibat statusnya. Mitos dan stereotipe masa lalu tentang perempuan bagaimanapun membutuhkan waktu dan proses untuk merubahnya. Buruh perempuan dianggap merasa gembira dengan kesempatan kerja yang diperolehnya.  Citra buruh perempuan seperti ini dimanfaatkan oleh pihak–pihak yang bersinggungan dengan penggunaan buruh perempuan. Apalagi bagi pengusaha melihat buruh perempuan sebagai tenaga ideal yang   terampil, rajin, teliti, patuh, dan murah.   (Irwan Abdullah, (Ed); 2006 : 254)
Phillips dan Taylor mengatakan bahwa penggunaan  tenaga buruh tidak harus bersifat diskriminasi terhadap tenaga buruh perempuan. Asumsi tenaga  kerja  perempuan  tidak trampil  merupakan suatu asumsi yang keliru. Dengan adanya perubahan organisasi kerja dalam pabrik, seringkali pekerjaan yang sama bisa dikerjakan oleh pekerja dengan tipe yang berbeda. Jika pekerjaan yang digeluti sudah cukup lama, maka  hasilnya adalah tenaga kerja yang sangat trampil. Akan tetapi ketika berpindah kebidang yang berbeda, maka hasilnya adalah tenaga kerja yang tidak trampil.   Jadi tenaga buruh dibedakan menjadi tenaga trampil, semi  trampil, dantidak  trampil.   Tetapi semi trampil dan tidak trampil hanya bersifat sementara.   Oleh sebab itu pengklasifikasian tersebut   bukan karena   persoalan jenis  antara buruh laki–laki dan buruh perempuan. Contohnya; pabrik  ban di Tangerang, pada mulanya buruh laki–laki mendominasi pekerjaan tersebut, tetapi kemudian berubah di mana  tenaga buruh perempuan telah mendominasi jenis pekerjaan tersebut.   (Ratna Saptari, Brigitte Holzner;  1997 : 369 – 370)
Tekanan ekonomi telah mendorong perempuan untuk melakukan perombakan tradisi dan image.   Namun faktor dukungan keluarga tidak bisa disepelekan    ketika membahas buruh perempuan. Ketika mendapat dukungan keluarga, perempuan akan melakukan peran gandanya yakni sebagai ibu rumah tangga yang bekerja di rumah seperti menyiapkan makanan untuk keluarga, membersihkan rumah dan sejenisnya,  jugasebagai tenaga buruh yang bekerja untuk mendapatkan upah. Menurut Ken Suratiyah,   perempuan akan menjalankan peran gandanya dan bahkan akan memforsir diri demi ekonomi keluarga.    (Irwan Abdullah, (Ed); 2006 : 231)
Di dalam tulisan ‘Pesantren Buruh Pabrik’, mengatakan bahwa saat ini sektor ekonomi telah dipoles oleh kapitalis dan industrial, sehingga sekularisasi menyebar dan menyeruak di seluruh sendi kehidupan masyarakat modern. Dalam perspektif pendidikan Islam, manusia wajib berikhtiar untuk mencapai kualitas hidup di dunia secara maksimal,   tetapi jangan sampai membuat dirinya terlena, hanyut tanpa kendali, dan akhirnya berujung pada jurang kesengsaraan yang bersifat kekal dan abadi.   (Imam Bawani, dkk; 2011 :265)

C.    Kesejahteraan Keluarga Buruh
Kesejahteraan keluarga berkaitan erat dengan  pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder yang bersifat variatif sehingga kesejahteraan hidup keluarga bersifat subjektif. Hal ini disebab karena barometer kesejahteraan hidup keluarga sangat ditentukan oleh standar hidup keluarga itu sendiri.  Selain itu Herien Puspitawati  beranggapan  jika jumlah anggota keluarga semakin banyak, suami  lebih muda, pendidikan suami lebih tinggi / lebih lama, maka pendapatan perkapita keluarga semakin besar. Jika nilai ekonomi pekerjaan ibu rumah tangga untuk pemeliharaan rumah tangga semakin tinggi, maka akan berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga subjektif.    (Herien Puspitawati;  Analisis Gender Dalam Penelitian Bidang Ilmu Keluarga, 2009 : 20)
          Kesejahteraan keluarga  subjektif yang berdasarkan pada pendekatan quality of life    adalah mengukur kepuasan atau kesenangan seseorang secara subjektif  terhadap  semua  materi dan prilaku yang dilakukan untuk mencapai tujuan hidup.  Kepuasan  atau  kesejahteraan  dapat  berbeda antara harapan dengan  kenyataan  dan  dapat  berbeda  pada  setiap  orang. Di dalam tulisan Herien juga menekankan peran ganda dari perempuan yang sangat  dibutuhkan bagi  keluarga untuk mewujudkan kesejahteraan  keluarga subjektif. Hal ini sebagai satu-satunya strategi penyeimbang antara kepentingan pekerjaan dan keluarga untuk mencapai multi-tujuan (multi-purpose) keluarga dan individu perempuan dengan mempertimbangkan adanya kepentingan pribadi dan keluarga melalui penerapan konsep opportunity cost dan pareto optimum.  Opportunity cost adalah adanya pengorbanan yang dilakukan karena mengerjakan atau memilih alternatif lain yang memiliki resiko terendah. Sedangkan pareto optimum adalah meningkatkan kesejahteraan seseorang tanpa mengakibatkan orang lain menderita.    (Herien Puspitawati; Pengaruh   Strategi Penyeimbangan Antara Aktivitas Pekerjaan Dan Keluarga Terhadap     Kesejahteraan Keluarga Subjektif Pada Perempuan Bekerja Di Bogor; 2009 :  116, 119, 120)
3.     Upaya-Upaya Peningkatan Kesejahteraan Keluarga
A.    Komitmen Keluarga
Sebagai anggapan dasar tentang keluarga adalah rumah tangga yang harus dibangun berdasarkan kesepahaman melalui cara komunikasi. Komunikasi yang berjalan lancar dalam keluarga dapat menghasilkan kesepakatan sebagai bentuk komitmen antara suami dan isteri.  Herien Puspitawati menggunakan istilah proses manajemen sumber daya keluarga. Proses ini harus dilakukan karena peran ganda perempuan akan menghasilkan ketegangan dan konflik antara tuntutan pekerjaan dengan keluarga.   (Herien Puspitawati; Pengaruh Strategi Penyeimbangan Antara Aktivitas Pekerjaan Dan Keluarga Terhadap Kesejahteraan Keluarga Subjektif Pada Perempuan Bekerja Di Bogor,  2009 :112) Keterbatasan mengerjakan pekerjaan rumah tangga ini yang harus diatur agar keluarga tidak terganggu.
Selanjutnya menurut Aida Vitayala S. Hubeis, penerapan Pengarusutamaan Gender (PUG) merupakan komitmen dalam keluarga. PUG adalah strategi pembangunan yang berkeadilan dan berkesetaraan yang semakin diakui sebagai kebutuhan. Tujuan PUG adalah untuk mencapai Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG).   KKG tidak bisa terlepas dari kepedulian timbal-balik antara perempuan dan laki-laki tetapi bukan dalam konteks ketergantungan ataupun pendominasian. Di sini dibutuhkan keberanian perempuan untuk mengisi kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan tanpa berbelah hati (mendua) dan sebaliknya diperlukan pula kerelaan kaum lelaki untuk melakukan justifikasi mitos-mitos yang merugikan refleksi peran gender secara optimal.   (Aida Vitayala S. Hubeis,2009 : 6, 141) PUG dilakukan melalui  penyusunan kebijakan dan bentuk program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan antara perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan pemantauan dan evaluasi dari  seluruh kebijakan  dan program  di berbagai  bidang kehidupan dan pembangunan.
Oleh sebab itu kebijakan Pengarusutamaan Gender (PUG) sebagai strategi mensejajarkan peranantara laki-laki dan perempuan menjadi sangat penting di dalam masyarakat. Lembaga yang dianggap strategis untuk disosialisasikan dan bahkan dapat diinternalisasikan agar kebijakan dapat berjalan efektif adalah keluarga. Keluarga merupakanunit terkecil danunit inti dalam masyarakat yang perlu diberdayakan. Kesetaraan dan keseimbangan antara laki-laki dengan perempuan harus diperhatikan, karena kesetaraan dan keseimbangan tersebut berpengaruh langsung terhadap peluang dan partisipasi dari perempuan.   (Herien Puspitawati; 2007 : 6)
Selain itu di dalam tulisan ‘Perempuan Menggugat’, diberikan cara atau program untuk menunjang keberhasilan gender yang dianggap belum berjalan maksimal. Program tersebut adalah Model Reparasi yang menjadi ekspresi simbolik agar tercipta demokrasi. Program ini dianggap dapat membantu mengatasi ketimpangan struktural menuju kesetaraan gender yang dapat mengakhiri diskriminasi sistematis terhadap perempuan. Di dalam model ini permasalahan diidentifikasi untuk mengangkat dan memahami pengalaman perempuan selama konflik terjadi kemudian dibuat program reparasi yang konkrit dan kepastian untuk melaksanakan reparasi sesuai dengan kesepakatan.   (Ruth Rubio – Marin (Ed); 2008 : 8 – 11)
Komitmen sebagai bentuk dari kesadaran antara suami dan isteri sangat menentukan terciptanya gender.Bentuk komitmen di dalam gender merupakan suatu kontribusi bagi perbaikan kesetaraan suami dan isteri. Kesetaraan dan keseimbangan tidak akan berjalan secara maksimal apabila tidak didukung oleh komitmen dalam keluarga. Bahkan bentuk komitmen tidak hanya cukup dengan kata sepakat saja. Menurut ILO, komitmen yang kuat terhadap kesetaraan kesempatan dan perlakukan antara laki-laki dan perempuan di dunia kerja tercermin dalam Mandat Pekerjaan Yang Layak yaitu meningkatkan kesempatan kerja bagi perempuan dan laki-laki untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan produktif dengan menjunjung tinggi kebebasan, pemerataan, keamanan, harkat dan martabat manusia.   (ILO; Isu-isu Perempuan Dan Gender di Organisasi Serikat Pekerja / Buruh di Indonesia, 2006 :1)
 Berdasarkan pemikiran-pemikiran di atas dapat dikatakan komitmen merupakan bentuk kesepahaman, kesepakatan yang ditentukan oleh suami dan isteri dalam rangka membentuk keluarga yang kuat dan sejahtera.   Jika hubungan dalam keluarga didasarkan pada  komitmen, maka suami dan isteri akan menjadi satu tim yang kuat dalam rumah tangga dan akan berdampak pada kuatnya ikatan keluarga.

B.    Pembagian kerja
Adapun pemikiran tentang pembagian kerja berdasarkan gender didasarkan  pada tataran  Gender  And Development (GAD), di mana perempuan dan laki-laki memiliki kesetaraan, keadilan, dan keseimbangan. Jadi tidak sekedar hanya berfokus pada bagaimana memberdayakan perempuan.   Kesenjangan gender dalam keluarga dan masyarakat mendorong peran perempuan dan laki-laki harus seimbang. Pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki bukan didasarkan pada perbedaan jenis kelamin. Menurut Herien Puspitawati peran gender di sektor domestik melibatkan peran reproduktif / domestik  yang menyangkut aktivitas manajemen sumber daya keluarga (materi, non materi dan waktu, pekerjaan dan keuangan), misalnya laki-laki membantu peran domestik dalam pengasuhan / pendidikan anak dan household chores.  (Herien Puspitawati;  Analisis  Gender Dalam Penelitian Bidang Ilmu Keluarga, 2009 :  9)
Wiwik Gusniati membedakan pembagian peran  dalam beberapa tipe :
1.             Diferensiasi peran, bahwa aktivitas yang dilakukan ditentukan berdasarkan umur, gender, generasi, posisi status ekonomi, dan posisi status politik.
2.             Alokasi solidaritas, bahwa peran yang ditentukan berdasarkan cinta, kepuasan, kekuatan keluarga, dan intensitas hubungan.
3.             Alokasi ekonomi, bahwa peran yang berkaitan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi dari barang dan jasa dalam keluarga.
4.             Alokasi politik, bahwa peran berkaitan dengan distribusi kekuasaan dan siapa yang bertanggung jawab atas tindakan anggota keluarga.
Alokasi integrasi, ekspresi, dan peran berkaitan dengan teknik atau cara untuk sosialisasi, internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai dan prilaku yang memenuhi tuntutan norma yang berlaku untuk setiap anggota keluarga.   (Herien Puspitawati;  Analisis  Gender Dalam Penelitian Bidang Ilmu Keluarga;   2009 :  8 – 9)
Di dalam tulisan Ratna Saptasi dan Brigitte Holzner menegaskan komposisi pembagian kerja di dalam rumah tangga tidak bisa di lihat sebagai kesatuan yang terisolasi dan mandiri.   Bagaimanapun komposisi suatu rumah tangga serta pembagian kerja yang terdapat di  dalamnya berkaitan sangat erat dengan lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang lebih besar. Jadi perbedaan pembagian kerja antar keluarga sesuai dengan posisi ekonomi rumah tangga yang bersangkutan.   (Saptari, Ratna; Holzner, Brigitte;  1997 : 31)
Warto mengatakan dengan pola kerja di pabrik dengan  system  shift (pagi, siang, dan malam)  memaksa  mereka untuk  mengatur  pola  kerja  di rumah. Meskipun demikian peran suami sangat dibutuhkan dalam kondisi seperti ini.Akhirnya suami mengambil alih peran isteri seperti menyapu, memasak, dan mengasuh anak.   (Irwan Abdullah, (Ed);  2006: 169) Dengan demikian pembagian kerja dalam keluarga ditentukan oleh keluarga masing-masing karena kondisi, suasana, dan kebutuhan setiap keluarga berbeda satu dengan yang lain.  Apalagi tujuan membentuk keluarga merupakan fondasi sehingga menndorong terbentuknya kesepakatan tentang pembagian kerja.
Selanjutnya di dalam dunia kerja, tenaga buruh perempuan tersebar menurut sektor, kelompok pendidikan, dan jenis jabatan.  Tenaga buruh perempuan  tetap menjadi tenaga kerja yang diperhitungkan sebagai mitra tenaga kerja laki-laki di sector industri. (Ruth Rubio – Marin (Ed); 2008 : 444 – 445)

C.           Pengambilan Keputusan Keluarga
Pengambilan keputusan dalam keluarga merupakan suatu bentuk keputusan baik dalam bentuk pemikiran maupun dalam bentuk tindakan demi perbaikan kehidupan keluarga. Dalam tulisan Wiwik Gusnita menjelaskan pola pengambilan keputusan dalam keluarga menyangkut kewenangan suami istri dalam mengambil keputusan, terbagi dua pola; Pertama, pola tradisional yang memberikan kewenangan kepada suami untuk mengambil keputusan, dan Kedua, pola modern yang memberikan kewenangan kepada suami dan isteri secara bersama-sama dalam mengambil keputusan tanpa menghilangkan peran masing-masing.  (Wiwik Gusnita; 2011 : 19)   Selanjutnya menurut Scanzoni dan Scanzoni yang dikutib oleh Azzachrawani bahwa pola pengambilan keputusan dalam keluarga  menggambarkan bagaimana struktur pola kekuasaan dalam keluarga tersebut.   (Wiwik Gusnita; 2011 : 18)
Dengan demikian jika gender sudah berfungsi dalam keluarga maka pengambilan keputusan  tidak lagi didominasi oleh suami.   Maria Kaban mengatakan bahwa dalam keluarga kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam proses pengambilan keputusan memiliki strategis dan berdampak ganda. Strategis karena mewujudkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan; ganda karena mendidik anak-anak yang tidak memberikan pembedaan jenis ketika mengambil keputusan.   (Maria Kaban;  2005 : 45)
Selanjutnya Syamsiah Achmad membagi dua bentuk pengambilan keputusan.  Pertama; keputusan individu perempuan dan laki-laki sebagai keputusan yang ditujukan pada diri sendiri, yang mempertimbangkan kepentingan dan aspirasi diri sendiri baik secara individu maupun berkaitan dengan keluarga, masyarakat, organisasi dan lain-lain. Kedua; keputusan kolektif sebagai keputusan yang diambil oleh seorang perempuan atau laki-laki bersama dengan para anggota kelompoknya baik secara informal maupun formal.   (Maria  Kaban; 2005 : 46)
Rani Andriani Budi Kusumo dkk, menegaskan dalam menghadapi sumber daya yang langkah, keluarga melakukan suatu strategi koping untuk memaksimalkan kesejahteraan keluarga yaitu suatu proses manajemen yang  efektif digunakan  untuk pencapaian  penggunaan  sumber daya  yang optimal untuk  memenuhi berbagai  macam kebutuhan, menyesuaikan  pendapatan dengan kebutuhan keluarga. Keluarga dengan pendapatan yang kurang, dapat mengurangi tekanan ekonomi dengan cara melakukan penghematan atau peningkatan pendapatan keluarga melalui pola nafkah ganda.   (Rani Andriani Budi Kusumo, dkk;  2008 : 55)
Aida Vitalaya S. Hubeis  mengatakan  kualitas hidup  sangat ditentukan oleh peran gender.  Peningkatan kualitas dan kuantitas perempuan di bidang ekonomi dapat dilakukan melalui kegiatan :
1.             Peningkatan kemampuan dan profesionalisme, etos dan produktivitas kerja, kewirausahaan, manajemen dan kepemimpinan.
2.             Menciptakan iklim yang kondusif agar dapat berperan dalam pembangunan secara optimal.
3.             Meningkatkan akses modal / kredit, informasi pasar, dan jaringan produksi serta pasar.
4.             Memperoleh dukungan berbagai pihak dalam dunia usaha dengan menciptakan iklim yang kondusif untuk meningkatkan kemandirian, antara lain melalui kemitraan usaha.   (Aida Vitayala S. Hubeis; 2010 :  114)



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan, (Ed); Sangkan Paran Gender, Yogyakarta : PPK UGM Pustaka
Pelajar, 2006
Andersen,  Margaret, L; Taylor,  Howard, F; Sociology, USA :Thomson Wadsworth,
2005
Bank Dunia; Rangkaian Pembangunan Berperspektif, Laporan Penelitian Kebijakan Bank, 2000
Bawani, Imam, dkk; Pesantren Buruh Pabrik : Pemberdayaan Buruh Pabrik Berbasis Pendidikan Pesantren, Yogyakarta : LKIS, 2011
Budi Kusumo, Rani Andriani, dkk; Analisis Peran Gender Serta Hubungannya Dengan Kesetaraan Keluarga Petani Padi Dan Holtikultura Di Daerah Pinggiran Perkotaan, Media Gizi Dan Keluarga, Desember 2008, 32 (2)
Blackburn, Susan; Perempuan Dan Negara Dalam Era Indonesia Modern, Australia : Cambridge University Press, 2009
Gamble, Sarah; Pengantar Memahami Feminism Dan PostFeminisme, Jakarta : Jalasutra, 2010
Gusnita, Wiwik; Pengaruh Kontribusi Ekonomi Perempuan dan Gender Terhadap             PendapatanKeluarga,   Bogor : Pascasarjana IPB, 2011
Harrison, Lawrence, E; Huntington, Samuel, P, (Ed); Kebangkitan Peran Budaya : Bagaimana Nilai-nilai Membentuk Kemajuan Manusia, Jakarta : LP3ES, 2006
Hubeis, Aida, Vitayala, S; Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa, Bogor : IPB Press,  2010
ILO; Gender Maintreaming Strategy-ILO,Strartegi Pengarusutamaan Gender – ILO Jakarta 2003 – 2005, Jakarta,  2003
ILO; Isu-isu Perempuan Dan Gender Di Organisasi Serikat Pekerja / Buruh Di Indonesia, Laporan Penelitian, Jakarta, 2006
ILO;  Konvensi-Konvensi ILO Tentang Kesetaraan Gender Di Dunia Kerja, ILO Jakarta, 2006
Kaban, Maria; Kesetaraan Perempuan Dalam Pengambilan Keputusan Dalam
Keluarga Pada Masyarakat  Hukum Adat Karo (Studi di Desa Tiga Panah
Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo),  Tesis, Medan : Universitas Sumatera Utara, 2005
Puspitasasi,  Herien;   Pengarusutamaan Gender ( PUG ) Bidang Pendidikan Dalam
        Menyongsong Era Globalisasi, Makalah Seminar disampaikan pada
            Lokakarya Pengarusutamaan Gender dalam Pengelolaan Sumberdaya
            Lingkungan Menuju Kualitas Kehidupan Berkelanjutan Kampus IPB Darmaga
pada tanggal 10 September 2007
………; Pengaruh Strategi Penyeimbangan Antara Aktivitas Pekerjaan Dan
Keluarga Terhadap Kesejahteraan Keluarga Subjektif Pada Perempuan Bekerja Di Bogor : Analisis Structural Equantion Modelling, Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, Agustus 2009, Vol 2, No. 2
………; Analisis Gender Dalam Penelitian Bidang Ilmu Keluarga,
            Makalah Seminaryang disampaikan pada Pelatihan Metodologi Studi Gender
UntukProgram Studi Wanita, Gender dan Pembangunan PSW – PSP3 LPPM – IPBpada tanggal 23 April 2009
………; Teori Gender Dan Aplikasinya Dalam Kehidupan Keluarga, Bahan Jar ke 3, Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, Agustus 2009
………; Teori Konflik Sosial Dan Aplikasinya Dalam Kehidupan Keluarga, Bahan             Jar ke 3, Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia          Institut Pertanian Bogor, Agustus 2009
………; Isu Gender dalam Agroforestry,      Kerjasama Fakultas   Kehutanan IPB –
ICRAF, Bogor,  2010           
Puspitawati, Herien; Fahmi, Sri, Andriyani; Jurnal Ilmu Keluarga Dan Konsumen Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen FEMA IPB, Vol. 1 No. 2, Agustus 2008
Ritzer, George; Goodman, Douglas, J;Teori Sosiologi Modern, Jakarta : Kencana, 2010
Rubio-Martin, Ruth; Perempuan Menggugat : Masalah Gender Dan Reparasi Dalam Kejahatan Hak Asasi Manusia, Jakarta :  ELSAM, 2008
Saptari, Ratna; Holzner, Brigitte; Perempuan Kerja Dan Perubahan Sosial : Sebuah Pengantar Studi Perempuan, Jakarta : Grafiti, 1997
Silvey, Rachel;  Review Spaces  Of   Profest : Gendered, Imigration, Social Networks, And Labor Activism In West Java, Indonesia, Pergamon, Political Geography 22 (2003)
Thornham, Sue; Teori Feminis Dan Cultural Studies : Tentang Relasi Yang Belum
               Terselesaikan,  Jakarta : Penerbit Jalasutra, 2010
Jurnal  Filsafat  Jilid 33 No. 1;  Peran Ganda Perempuan, Jakarta,  April 2003
Jurnal  Perempuan 73,  Perkawinan  Dan  Keluarga;   Jakarta,  April 2012